Happy Fourth, Lampor & Mesin Tik (AS, Swiss, Filipina)
Mengenang Beliau (5 Juli `43 - 1 Agust `06)
Yani Maria - Salatiga
Papa saya, lahir di Tingkeao, suatu desa di daerah Morowali, Sulawesi Tengah. Suatu daerah yang pasti tidak tertera di peta Indonesia. Adalah anak ke-3 yang lahir dari pasangan keluarga sederhana, ayah seorang petani, dan ibu seorang guru sekolah rakyat. Kedua kakak papa, laki-laki, namun di usia dini sudah dipanggil menghadap sang khalik karena penyakit disentri yang saat itu belum ada obatnya. Jadilah papa sebagai sulung dari keempat adik-adiknya yang masih kecil.
Terlahir dengan nama Natiu Onduko. Hanya saja saat merantau ke Jawa, papa merasa nama itu kurang keren sehingga atas inisiatif sendiri mengganti namanya menjadi Ignatius Onduko. Sehingga sampai sekarang orang mengenalnya dengan nama barunya tersebut. Onduko adalah nama fam/marga. Orang Mori menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Fam ini sangat langka. Kakek saya (ayah papa) adalah anak tunggal. Saudara laki-laki papa hanya 2, yang 1 tidak memiliki anak. Saudara saya beserta dengan sepupu hanya 2 orang yang laki-laki. Jadi praktis hanya 4 generasi Onduko yang masih tersisa di dunia ini. Saat mengetahui jenis kelamin anak saya adalah laki-laki, saya matur ke papa, akan memberi nama anak saya dengan nama Onduko, walaupun itu menyalahi aturan silsilah, tapi biar sajalah. Tentu saja papa saya sangat senang sekali dan itu adalah kado terakhir saya sebelum beliau menutup mata untuk selamanya.Pendidikan terakhir beliau adalah sarjana muda di fakultas sastra UNDIP – Semarang. Mungkin karena tidak ada biaya atau kesibukan beliau berorganisasi, papa tidak melanjutkan kuliahnya untuk meraih gelar sarjana sastranya. Beribukan seorang guru, papa sangat peduli terhadap pendidikan. Walaupun berasal dari sebuah desa kecil di pedalaman Sulteng, papa berusaha untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya. Saat di sekolah rakyat, papa berhasil naik kelas beberapa tingkat lebih cepat dari murid lainnya. Sehingga saat menjadi guru SR, papa sempat mengajar teman seangkatannya. Bidang yang paling dikuasai adalah ilmu pasti dan ilmu hitung (tapi kok kuliahnya masuk sastra ya? Hehehe… ).
Saat kami berkumpul, papa sering bercerita tentang pengalamannya saat menjadi guru. Saat anak-anaknya merengek minta buku tulis baru, dengan merk mahal (waktu kecil dulu merk kiky yang paling trend di kalangan anak SD, cmiiw), papa berkata, dulu waktu sekolah papa menggunakan papan batu dan batu tulis untuk mencatat pelajaran. Asal tahu saja, tidak mungkin papan batu bisa menyimpan semua pelajaran untuk satu hari. Jadi sekali tulis, kemudian dihapus untuk menulis pelajaran selanjutnya. Dengan demikian, semua pelajaran harus dihapal di kepala. Memang benar, ingatan papa saya sangat tajam. Begitu pula untuk urusan angka, tambah kurang bagi kali, tidak perlu pakai oret-oretan, kalkulator atau sempoa, dalam hitungan singkat papa bisa berhitung dengan cermat dan tepat. Bahkan saat menderita stroke, ingatan dan kemampuan hitung papa masih bisa diacungi dua jempol, kalau perlu tambah 2 jempol kaki atau pinjam jempol tetangga Mungkin sudah terasah sejak kecil.Begitu pula saat anak-anaknya merengek minta upgrade kendaraan roda 4. Papa bercerita bahwa dulu untuk sekolah harus menempuh perjalanan sekitar 50 km dengan telanjang kaki, berjalan, menerobos hutan dan ladang. Berbekal singkong rebus untuk makan di jalan, minum dari embun yang menempel di daun, setiap hari dijalani tanpa keluh kesah.
Bagaimana papa bisa sampai di pulau Jawa? Sewaktu menjadi guru SR, ada kesempatan yang diberikan oleh pemerintah desa untuk seorang guru melanjutkan sekolah ke Jawa. Hanya saja bukan papa yang ditunjuk untuk berangkat, katanya karena kurang ngelobi, padahal dari segi kemampuan otak, beliau lebih dari temannya tersebut. Kecewa dengan penunjukan tersebut, papa bertekad untuk bisa melanjutkan pendidikan secara mandiri. Tujuannya adalah perguruan tinggi terkenal di pulau Jawa.Singkat cerita, papa berangkat dari desa, menuju Poso. Tujuan beliau, mencari kerja di tempat pamannya yang saat itu mempunyai usaha kayu. Uang yang didapatkan dari kerja tersebut ditabung sebagai bekal ke Jawa. Dari Poso, papa ikut usaha pamannya di Manado. Usaha kayu semakin maju, sampai dikirim ke Jawa. Inilah saat yang ditunggu-tunggu papa.
Papa mendaftar di UNDIP, sebuah perguruan tinggi terkenal di Jawa, sesuai impiannya. Saat itu usia beliau sudah melebihi maksimum untuk masuk ke bangku kuliah. Entah bagaimana caranya, beliau menambahkan 3 tahun di tahun kelahirannya sehingga memenuhi syarat usia untuk masuk perguruan tinggi. Sampai sekarang, di KTP papa usianya lebih muda 3 tahun dari yang seharusnya. Sudah terlanjur basah. Jadilah papa seorang mahasiswa fakultas sastra di UNDIP.Saat kuliah, beliau sangat aktif di kegiatan kemahasiswaan. Pernah menjadi sekretaris senat mahasiswa, aktif di paduan suara mahasiswa, baik sebagai anggota maupun sebagai pengurus, mengikuti organisasi kemahasiswaan, dan salah satu organisasi yang paling digelutinya adalah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Beliau adalah sesepuh di organisasi ini. Bahkan saking aktifnya di GMKI, membuat kuliahnya agak keteteran. Mungkin juga keteteran karena faktor biaya. Hingga seorang pendeta mahasiswa dari Belanda, Bapak Dethmers (alm) yang mengangkat papa menjadi anak asuh dan membantu biaya kuliah papa, walaupun hanya sampai sarjana muda. Papa jarang bercerita tentang hidupnya saat kuliah. Saya membacanya dari piagam-piagam beliau yang tersimpan rapi sampai sekarang juga dari sambutan yang diberikan oleh salah satu teman perjuangannya saat melepas kepergian beliau ke peristirahatan terakhirnya. Sungguh, dari penuturan temannya tersebut, baru saya sadar, papa saya seorang yang hebat di masa hidupnya, membuat saya sangat bangga menjadi salah satu anaknya.
(** eh Zev, kata papa saya, beliau kenal Pak Bondan Winarno. Entah benar itu temannya atau tidak, saat menonton wisata kuliner, beliau nyeletuk saya kenal dia (pak Bondan). Katanya dulu waktu mahasiswa (atau sudah lulus ya? Lupa…) beliau dan pak Bondan dapat panggilan kerja sebagai wartawan di harian Suara Pembaharuan (atau … duh lupa, pokoknya di Solo). Pak Bondan berangkat, papa saya tidak karena memilih pekerjaan di LSM).Salah satu watak beliau adalah keras, berani berkata ya dan tidak secara tegas, bukan ya… tetapi atau tidak… namun. Beliau juga seorang yang sangat disiplin dalam segala hal. Saya ingat betul, ada jam malam yang harus dipatuhi anak-anaknya. Kapan boleh menonton TV, kapan saat belajar, kapan harus pulang ke rumah. Saya pernah sekali melanggar jam malam, padahal hanya lewat beberapa menit. Waktu itu saya keasyikan jalan-jalan dengan pacar (sekarang suami), sehingga harus memanjat pagar rumah karena sudah dikunci. Suami saya sampai sekarang masih ingat betul betapa keras mertuanya. Saat menderita sakit kanker, beliau juga harus menerapkan displin dalam makanan. Bagi kami, suatu siksaan menyantap masakan yang direbus/ dikukus setiap hari, dengan jenis makanan yang terbatas. Namun beliau melaluinya dengan penuh disiplin dan ketabahan, walaupun tidak berhasil terbebas dari penyakitnya tersebut.
Beliau juga mengajar anak-anaknya untuk hidup memiliki target misalnya kuliah harus 4 tahun, dengan IPK minimal 3. Cita-cita beliau adalah menyekolahkan semua anaknya sampai ke jenjang pendidikan setinggi-tingginya. Kata papa, pendidikan adalah investasi. Di tahun 2003, papa meraih gelar DR (HC) dari sebuah universitas di Amerika Serikat di bidang manajemen atas dedikasi dan ketekunannya dalam bidang manajemen sumber daya manusia di LSM tempat beliau mengabdi bertahun-tahun. Ketika menerima gelar tersebut, beliau berkata, ingin anak-anaknya bisa mencapai gelar Doktor beneran, tetapi papa tidak sanggup membiayai sampai S3. Kalau mau, anak-anaknya harus mencari beasiswa, karena beliau yakin kami mampu. Saat ini, saya belum berminat melanjutkan ke S2. Saya ingin konsentrasi ke pekerjaan sekarang dan keluarga. Mungkin suatu saat nanti saya akan mewujudkan cita-cita papa.Cinta istri, anak, saudara, teman, tetangga. Itulah papa saya. Kepada istrinya, beliau tidak pernah melakukan kekerasan fisik. Perselisihan tidak pernah terjadi dalam 25 tahun pernikahan mereka. Kepada anak-anaknya beliau sangat sayang dan selalu mendoakan kami agar kami menjadi anak-anak yang taat dan takut akan Tuhan. Setiap kali beliau berpergian, kami selalu mendapatkan oleh-oleh. Walaupun itu hanya berupa snack yang diberikan di pesawat, namun kami selalu senang menerima oleh-oleh beliau.
Saya ingat betul, saat mendapat kesempatan training di Hagai Institute, Hawaii selama 3 bulan, papa pulang membawa satu plastik buah-buahan. Ternyata selama beberapa hari sebelum kepulangan ke Indonesia, papa menyisihkan buah jatah makannya untuk dibawa. Katanya, ingat anak-anak, supaya bisa mencicipi buah dari Hawaii. Hahaha… Kami tertawa mendengarnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, papa terkenal sebagai seorang yang selalu mendukung kegiatan RT. Walaupun sedang sakit, papa masih ikut siskamling. Kalau sakitnya parah, sampai tidak bisa datang, selalu menulis surat ijin untuk disampaikan ke rapat RT. Satu-satunya warga yang melakukan itu ya papa saya. Di antara saudara-saudaranya, mungkin papa saya termasuk salah satu yang paling berhasil. Namun demikian, beliau tidak menjadi sombong. Malahan selalu mendorong saudara-saudaranya untuk bisa maju. Entah sudah berapa orang keponakannya atau anak-anak di kampungnya yang ikut kami di Salatiga untuk sekolah. Papa membantu tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Sewaktu terjadi kerusuhan di Poso, rumah kami bak tempat pengungsian karena papa mau menampung korban yang menyelamatkan diri ke Jawa. Sampai seminggu lebih, rumah kami dihuni lebih dari 20 orang. Bayangkan saja.Ah… masih banyak kebaikan-kebaikan hati beliau. Tidak cukup beribu-ribu kata yang dapat saya sampaikan untuk memaparkan hal-hal terindah dari hidup papa. Mengenang beliau semasa hidupnya adalah kesukaan saya. Kesukaan ini ingin saya bagikan kepada kokiers. Mungkin kokiers juga punya kenangan – kenangan baik itu haru, pilu, bahagia bersama dengan orang tua. Inilah kenangan saya tentang papa saya.
Selamat ulang tahun papa. Selamat merayakannya bersama dengan malaikat di surga. Seikat bunga mawar akan kami letakkan di nisanmu. Semoga papa bisa mencium wanginya.Terima kasih Zev.
Mobil Dinas
Yani Maria-Salatiga
Di tempat saya bekerja, ada fasilitas yang diberikan oleh perusahaan berupa kendaraan operasional (mobil dinas) untuk setiap bidang dan masing-masing manajer. Statusnya adalah sewa dan vendor yang men-supply menyediakan jasa servis tiap bulan dan asuransi jika terjadi apa-apa dengan mobil dinas tsb (tergores, penyot, hilang, dsb). Setiap tahun perusahaan bebas mengganti mobil dinas dengan keluaran terbaru. Saya tidak tahu berapa nominal yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk membiayai mobil dinas ini.
Yang ingin saya share di sini adalah seringkali mobil dinas tidak dimanfaatkan dan dirawat sebagaimana mestinya. Beberapa di antaranya adalah, sikap karyawan yang masa bodoh dengan penggunaan mobil tersebut. Mobil dinas yang baru dipakai beberapa bulan, body-nya sudah keblaret-blaret (tergores) di sana sini. Bukannya karena yang menyopir baru belajar atau baru lulus dari sekolah mengemudi, namun lebih tepatnya karena “sense of belonging” yang kurang. Mungkin karena punya pikiran, “ah, kalau lecet khan bisa klaim ke asuransi”, sehingga menjadi alasan untuk menggunakan mobil dinas semena-mena. Aduh… ngenes melihatnya.Mobil dinas bagian dan mobil dinas manajer seharusnya digunakan sebagai sarana transportasi bagi pegawai atau manajer yang hendak melakukan perjalanan dinas ke luar kota maupun untuk keperluan dinas di dalam kota, atau jika ada tamu, mobil dinas digunakan untuk keperluan antar jemput tamu kantor. Sayangnya saya tidak melihat fungsi tersebut berjalan dengan benar. Salah seorang manajer (jadi tidak semuanya) malah menggunakan mobil pribadinya ke kantor. Mobil dinasnya ternyata dipakai oleh istrinya. Tentu saja jika ada acara kedinasan, beliau tidak menggunakan mobil pribadinya tersebut, namun meminjam mobil dinas manajer lainnya atau malah yang lebih menyebalkan, memakai mobil dinas bagian. Hal ini tidak terjadi satu atau dua kali namun berkali-kali sehingga banyak staff-nya yang mengeluh, seolah-olah mobil dinas tersebut milik pribadinya. Mau protes percuma, karena si manajer ini sudah kebal pada teriakan-teriakan staff. Gila…
Tidak hanya itu saja. Monopoli mobil dinas bagian juga terjadi di kalangan staff (non manajer). Biasanya saat tidak digunakan, mobil dinas diparkir di pool kantor. Kunci disimpan di bagian logistik dan bisa digunakan sewaktu-waktu dengan mengisi log book. Hanya saja ada beberapa orang yang memanfaatkan kedekatan dengan pegawai logistik untuk meminjam mobil dinas untuk keperluan pribadi dan "lupa" mengembalikan. Sering pegawai yang benar-benar butuh mobil untuk perjalanan dinas kelimpungan mencari di tangan siapa mobil itu berada. Begitu ketemu orang yang memakai, eh dengan santainya dijawab “mobil tidak dibawa ke kantor, ada di rumah”. Sebal. Saya pernah menempuh perjalanan 1 jam untuk mengambil mobil dinas yang dibawa ke rumah saking butuhnya dengan mobil itu karena tidak punya mobil pribadi. Tambah kesal, begitu diperiksa, indikator bensin mendekati garis empty. Padahal ada peraturan tertulis, barang siapa yang terakhir kali memakai mobil harus mengisi bensin full tank!Ada-ada saja masalah yang ditimbulkan oleh keberadaan mobil dinas di kantor saya. Ini akibat tidak diterapkannya secara tegas aturan main dalam pemakaian mobil dinas sesuai dengan fungsinya. Yang paling konyol, pernah terjadi gontok-gontokan antar pegawai gara-gara mobil dinas. Salah seorang pegawai protes di forum terbuka tentang penyalahgunaan mobil dinas untuk keperluan di luar kantor. Eh, ternyata banyak yang kebakaran jenggot, tersinggung, merasa dituding (padahal tidak disebutkan namanya secara spesifik). Sempat ramai tuh di milis kantor, ramai jadi obrolan di toilet, berminggu-minggu. Setelah itu penggunaan mobil dinas semakin diperketat. Namun tetap saja ada beberapa orang yang masih gatal memainkan fasilitas dinas tersebut untuk keperluan pribadi. Heran, tanya ken.. apa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar