Eoyal Wedding, Meses & Demam Kontes (Brunei, AS, Inggris)
ANAK SUKU MORI
Yani Maria-Joglosemar
Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki beragam suku, name it! Ada Jawa, Sunda, Betawi, Batak, Minang, Bugis, Dayak, dll. Itu baru suku-suku yang terkenal, saya belum pernah menghitung ada berapa banyak sih suku di Indonesia.
Saya sendiri berasal (dilahirkan) dari orang tua suku Mori (bukan Maori dari Philipines lho). Opo kuwi?Jarang lho ada yang tahu suku Mori ini. Sampai-sampai di data HRD saya, kolom suku ditulis : TIDAK DIKETAHUI. Waduh... sedihhhh banget ya ditulis gitu, kesannya saya ini alien saja. Sewaktu saya protes ke HRD, mereka mengatakan bahwa suku Mori tidak terdaftar dalam database nama suku. Sempat mereka menawarkan, mau tidak dicantumkan suku saya Manado, Bugis atau Jawa saja, soalnya wajah saya sangat Manado tapi medok Jawa ... :D
Karena berniat melestarikan kesukuan yang hampir tak terdengar ini jadi saya ngotot kalau tidak Mori ya tidak mau. Namanya juga sistem, kalau tidak ada datanya ya ditulis TIDAK DIKETAHUI alias UNKNOWN. Hiks... hiks...Kembali ke soal suku Mori...
Suku Mori ini adalah salah satu suku di Indonesia yang mendiami wilayah Sulawesi Tengah. Tepatnya berada di wilayah Morowali. Kalau Morowali berarti gemuruh (begitu artinya kalau dalam bahasa suku Wana, salah satu suku di Morowali juga). Mbuh kalau dalam bahasa Mori, saya harus tanya ke kakek saya yang ahli tentang suku Mori. Tapi sayang di kampung kakek saya di Waraa, salah satu desa di sana, belum ada telpon!!!.Kakek saya kalau menelpon ke rumah harus pergi ke wartel yang ada di kecamatan Beteleme, kira-kira 30 menit dari Waraa. Kalau kita ingin menghubungi saudara di sana, saya harus menelpon ke wartel itu, lalu minta disambungkan ke kantor camat. Nanti orang kecamatan memanggilkan saudara saya yang rumahnya tidak jauh dari situ.
Jangan ditanya bagaimana dengan telpon seluler, bodynya aja yang ada tapi sinyalnya blank. Bisa sih pakai handphone, tapi supaya dapat sinyal harus pergi ke kilometer 3, ke arah Kolonedale, yah... kira-kira 30 menit lagi dari Beteleme. Kata saudara saya, kalau malam minggu kadang-kadang di kilometer 3 itu sering jadi tempat nongkrong orang-orang kampung yang ingin menelpon menggunakan HP.Segala cara dilakukan agar dapat sinyal, mulai dari menggoyang-goyang HP ke udara, naik ke pohon atau bukit, pokoknya kalau kita melihat kegiatan malam minggu itu, pasti tersenyum geli, soalnya lucu-lucu. Tapi katanya tahun ini akan dibangun BTS di kecamatan Beteleme, jadi mudah-mudahan komunikasi bisa lebih lancar.
Seumur hidup, baru 5 kali saya ke kampung orang tua saya di Morowali. Pertama kali waktu saya masih berumur 3 tahun kalau tidak salah (tahun 80 an). Waktu itu belum ada trans Sulawesi. Jadi untuk mencapai kampung, dari Makassar, ke Soroako dengan transportasi darat, lalu menyebrang danau (namanya saya lupa) lalu menerobos hutan. Di album foto keluarga, ada satu foto yang mendokumentasikan perjalanan pulang pertama saya itu.Di foto itu, saya dan papa mama sedang camping. Yah, perjalanannya jauh boo, jadi harus menginap di hutan. Selanjutnya kami sekeluarga rutin pulang per 5 tahun sekali. Dulu waktu harga tiket pesawat masih selangit, kita menggunakan kapal laut ke Palu. Dari Palu naik bis, lewat Poso, Tentena, baru ke daerah Morowali. Total perjalanan bisa 5 hari 4 malam.
Sekarang masih naik kapal juga, tapi tidak lewat Palu lagi, tapi ke Makassar, naik bis ke Soroako, nyebrang danau ke Nuha, lanjut dengan bis lain ke daerah Morowali. Kayaknya jauh juga ya, tapi lebih irit waktu, 3 hari 2 malam lah sampai dan lebih aman, karena sekarang kondisi di Poso sedang tidak kondunsif. Salah-salah bisa kena peluru atau bom nyasar... hiiiy serem.
Terakhir saya pulang, tahun 2000. Selama 5 kali pulang itu, saya merasakan perkembangan daerah di Morowali masih sangat lambat. Boro-boro ada mall, telpon seperti yang saya ceritakan di atas saja masih seperti itu kondisinya. Apalagi sarana yang lainnya. Bayangkan, di tahun 2000 listrik di kampung ortu saya hanya nyala di sore hari, dari jam 6 sore sampai subuh. Siang hari tidak ada listrik. Kalaupun ada, itu karena menggunakan mesin diesel. Tapi rata-rata rumah di sana pada memasang parabola dan punya kulkas. Jalan yang sudah diaspal dilalui mobil-mobil kijang baru (tahun 2000 itu) yang kalau jalan ngebut semua (maklum jalan baru, mulus, dan lurus pun sepi pula).Kok pada sugih ya? Ternyata mereka ini dapat uang banyak hasil dari panen coklat di tahun itu yang laris manis... Sayang, listriknya byar pet...Jadilah kulkas-kulkas menjadi lemari pajangan saja. Ngga tau juga sekarang listrik sudah 24 jam atau belum. Saya sudah sempat merasakan mandi air PAM. Tapi itu harus mandi bareng-bareng di pemandian umum di pinggir jalan. Campur, laki-laki dan perempuan.
Dari rumah jalan kaki ke pemandian umum itu dengan berlilitkan sarung atau jarik (bahkan ada yang nekad cuma kembenan handuk!) sambil menenteng ember berisi peralatan mandi. Perasaan saya waktu jalan setengah telanjang gitu di pinggir jalan maluuu banget. Apalagi banyak truk yang lewat. Supir truk khan paling ga tahan lihat pemandangan kayak gitu, gatel pengin suit suit... Kalau malu, ya mandi di rumah saja. Di rumah nenek sudah ada kamar mandi, tapi memakai air sumur yang warnanya agak keruh hihihi.Suku Mori kebanyakan sudah modern. Kebanyakan penduduknya berprofesi sebagai petani (ladang, bukan sawah karena curah hujan sedikit), atau menggarap kebun baik kebun milik sendiri maupun milik PTPN XIV yang mengelola karet. Yang punya modal, yah menjadi pedagang keliling atau buka toko di kecamatan.
Yang punya ijazah sekolah, yah... jadi PNS di kantor kecamatan atau kabupaten. Tapi sekarang orang tua di sana punya visi yang lebih baik untuk anak-anaknya. Banyak yang mengirim anak-anaknya sekolah ke Jawa, biasanya dicari kota yang ada familinya. Kalau sudah berhasil, kalau apes ngga dapat kerja di Jawa ya pulang ke Sulawesi, melamar jadi PNS di sana. Rata-rata kok suka ya jadi PNS. Keluarga besar saya saja hampir semuanya jadi PNS di Sulawesi. Cuma ortu saya yang merantau ke Jawa. (Papa sudah meninggal, mama wiraswasta buka warung makan).Tapi tidak semuanya bisa menyekolahkan anaknya boro-boro sampai ke Jawa, lulus SMP saja sudah beruntung. Rata-rata putus sekolah sampai SMP. Entah karena tidak ada biaya, atau karena tidak ada sekolah yang memadai untuk mereka sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Kalau sudah begitu, remaja yang putus sekolah itu akan membantu ortunya bekerja, entah itu di ladang, mencari ikan, menjaga adik-adik mereka, atau ngojek.
Oya ojek di daerah ini laris manis, tapi ngojek di sini ngentos soalnya harus ngantar dari satu kampung ke kampung lain yang jaraknya yaaahhh lumayan jauh lah. Untuk kebutuhan sehari-hari, rata-rata penduduk kampung punya kebun atau halaman yang ditanami sayuran. Mereka juga punya hewan ternak seperti ayam, sapi, babi yang kalau lagi ada hajatan selalu jadi korban sembelihan. Orang Mori suka sekali makan sagu. Kalau di sana disebut papeda/ dui/ kapurung. Sagu disiram dengan air mendidih kemudian diaduk menggunakan sendok kayu. Sesudah itu dimakan dengan kuah ikan dan sayur rebus. Kuahnya dibumbui dengan lemon cui (khas sana) dan cabe rawit.Makan duinya pakai sumpit, ambil dan slurppp sedot, telan, jangan dikunyah. Dijamin habis makan itu anda akan gembrobyos oleh keringat dan mulut berdesah kepedasan. Kalau di rumah makan dui itu, suami saya yang orang Jawa bilang, kayak makan lem. Hahaha... Sakjane sehat lho soalnya semuanya direbus dan langsung dipetik dari kebun. Selain itu ada makanan khas yaitu nasi jaha (nasi lemang) yaitu nasi (ketan kali ya) yang dimasak di bambu. Hmm... ini dimakan dengan sayur daun singkong (juga dimasak di bambu) dengan sambal dabu-dabu... mantap sekali... Batang pisang dan jantung pisang diiris tipis trus dimasak dengan ayam (lagi-lagi dimasak di bambu) juga enak.
Belum lagi daun-daunan yang entah lah namanya apa... ada lewe monto (rasanya asem), tandole, gedi... namanya aneh-aneh ya... Semua tanaman itu ada di halaman rumah saya di Jawa, langsung diimport dari Morowali. Kalau lagi ga belanja ke pasar, daun-daun tadi dipetik dan dimasak. Kaya serat bo...Kebudayaan suku Mori? Hmm... susah juga nih. Yang saya tahu, kalau musim panen, penduduk kampung di Morowali akan melakukan pesta rakyat yang dinamakan Padungku.
Dalam pesta itu, penduduk kampung gotong royong mengumpulkan hasil panen di balai desa dan memasak makanan untuk dimakan bersama. Biasanya kepala desa setempat akan membunyikan gong untung memanggil penduduk kampung kumpul di balai desa untuk merayakan padungku. Di sana mereka menari dan bernyanyi (berpantun) yang disebut modero. Alat musiknya ya gong tadi. Sekarang sudah lebih canggih... pakai kaset lagu modero. Gong di kampung kakek saya dibawa dari Jawa. Beli di Yogya waktu kakek datang ke Jawa. Gerakannya membosankan sih, bagi saya, karena monoton itu itu saja. Tapi daya tarik dari modero itu di berbalas pantunnya. Anak-anak muda sekarang lebih kreatif dengan menambah variasi gerakan modero, eh malah hampir sama dengan poco-poco hehehe...Tentang bahasa, Orang Mori punya bahasa daerah sendiri, tapi dialeknya beraneka ragam, tergantung daerahnya. Kalau di Mori sendiri dibagi menjadi 2 bagian, yaitu Mori Atas dan Mori Bawah. Ini kayaknya pembagian berdasarkan kontour wilayah.
Yang di bukit disebut Mori atas, sedang yang di lembah disebut Mori Bawah. Kampung ortu sendiri ada di Mori Bawah.
Anak-anak muda lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dengan logat yang balagu lagu (iyo mi... sana joo.... campuran logat Bugis dan Manado). Sayang ya... Sampai-sampai kakek saya berniat membuat buku dokumentasi bahasa Mori agar generasi muda suku Mori tidak lupa bahasa leluhurnya.
Tanah di sana masih relatif murah. Papa saya beli tanah 1 hektar di daerah antara kampung nya dan kampung mama hanya dengan uang 2 juta rupiah. Murah banget khan?! Tapi jangan tanya harga jualnya hehehe. Eh, tapi tidak juga... dulu pernah tanah itu ditawar oleh KORAMIL SULTENG. Sewaktu kerusuhan Poso, mereka berencana membangun asrama buat menampung TNI dan POLRI yang bertugas di sana.Salah satu yang ditaksir tanah papa saya itu. Mau dibeli berapa ratus juta (below 200 juta pokoknya) tapi tidak jadi karena pejabat2 di sana sudah keburu gontok2an supaya tanahnya yang duluan dibeli. Terakhir ini kakek saya telpon tanah itu mau ditanami kelapa sawit, soalnya ada perusahaan yang mau membeli kelapa sawit dari penduduk. Yah siapa tahu beberapa tahun mendatang daerah Morowali berkembang.
Jadi untuk waktu dekat tanah itu tidak akan dijual. Walaupun kami sekeluarga tidak berniat kembali ke Morowali, setidaknya darah kami masih darah suku Mori asli. Dan sebisa mungkin kami memelihara bahasa dan adat istiadat suku Mori.Terima kasih Zev... GBU
5 komentar:
Yani saya salut dengan pengetahuan kamu tantang suku Mori, Saya sendiri orang Mori asli lahir di Tomata. saya ketawa aja kalau kamu bilang dero,dui. Dui masakan kesukaan saya di Jakarta aja saya sering cari dui sesama orang Mori. Kakak saya kawin dengan Orang Wara'a (saya teringat akan logat wara'a begini JANGAN KAU PIGI DIBELAKANG NANTI KAU INJA TAI BERANYA PAPAMU Ha... Ha............Oh iya salam kenal dari saya Jeksi Botuale, Email saya jxy_tomata@yahoo.com TQ
Ya... Ini dia yang dicari2, Mana samua orang2 mori!!! Bikin forum kek ato apa kek buat natuin Mia Mori di seluruh dunia.
Eh,... Btw saya juga orang MORI ASLI, Papa Timompo (MBATONO), Mama Korompeeli (KATUWU. But Saya so lama tinggal Di Manado (Istri saya orang Manado), "Kami punya two children" Cewe and Cowo. Kalo bilang dui, lewe uwi, lewe monto and semua sayur yang namanya aneh2 itu saya masi ingat semua. Btw, salam kenal jo... samua. Hidup Mia Mori...!!!!!!!!!!
Ty, F. Mbatono (edick0402@yahoo.com)
naahh,, brhubung orang" dr suku mori ad dsni,, saya mw tw Lebih jauh lg seputar suku mori nih...
di mori itu ada upacara kematian dan pernikahan'nya gag????
tolong dijwab ia.. krna saya sdg bwt tugas tntang suku" di indonesia, dan mori slah stunya...
tolong ia..
hay... salam knal. sy jg orng mori ( papa Petumbea dan mama uluanso ) dan terus terang prihatin dengan bahasa mori yang sudah mulai punah.sebenarnya banyak lagi budaya Mori yang saya sudah jarang lihat di kampung seperti tari Lumense yang rata2 anak muda skarang sdh tdk tau bgmana "depe bagoyang"... ( klau ada yang mau ajar saya, boleh kok )... ada satu lagi dero yang barangkali dari Mori dan so tidak pernah lagi saya liat namax Molulo ( klau tdk salah itu namax ) derox pake Gong, trus peserta daronya sling balas pantun, (nenek saya ceritanya seperti itu) mungkin awal knal sama teteku dr ba dero staw... wkwkwkwkwk pokoknya buat orang Mori salam ONTAE KOA LUWU PEPAEKOMPO. biar pun kalian di ujung dunia tetap ingat2 jg itu kampung. biar busu2 tp tetap kampung halaman... salam Chris sostom Gintoe. Emailq tom_kidz13@yahoo.co.id
Yan, Maori itu bukan di Filipino sana, tapi di New Zaeland. Betul Maori itu tidak ada hubungan sama sekali dengan Mori atau Wita Mori.
Aarin juga pernah ditanya suku bangsa apa? Dia bilang Mori, tapi orang itu bilang apa itu Mori, ya saya Morinese, kata orang Belanda, jawab Aarin.
Ok Yan, kita sama Mori-Molongkuni...........!
Posting Komentar